Payung Teduh adalah blog yang mengisahkan perjalanan seseorang yang ingin menuliskan apa saja yang diinginkan , its freedom

Sosok Ketiga: Ketika Santet dan Poligami Bertemu dalam Layar Lebar

Industri film horor Indonesia mengalami peningkatan signifikan dari sisi produksi maupun keberagaman tema. Berdasarkan data dari Pusbang Film Kemendikbud, sepanjang 2023 terdapat lebih dari 30 judul horor lokal dirilis, menjadikan genre ini paling produktif setelah drama. Dari sekian banyak judul, Sosok Ketiga mencuri perhatian karena mengangkat dua isu sensitif: santet dan poligami.

Ulasan Film Sosok Ketiga ini menggali bagaimana konflik rumah tangga menjadi sumber ketegangan emosional sekaligus horor spiritual. Melalui pendekatan realis terhadap praktik santet dan konflik istri pertama vs istri kedua, film ini menjadi refleksi dari pergulatan batin perempuan dalam struktur sosial patriarkis. Namun, apakah film ini berhasil menyampaikan ketegangan sebagaimana premisnya menjanjikan?

Konfik Poligami sebagai Sumber Horor Emosional

Poligami dalam film Indonesia bukan tema baru, tetapi jarang ditempatkan dalam bingkai horor. Sosok Ketiga membuka celah baru dalam pendekatan naratif dengan mengonstruksi konflik rumah tangga sebagai pintu masuk menuju kekuatan gelap.

Sosok Ketiga: Ketika Santet dan Poligami Bertemu dalam Layar Lebar

Yuni, tokoh utama, adalah istri kedua dari Anton. Hubungan ini tampak harmonis di awal, namun mulai goyah saat kehamilan Yuni menginjak usia tujuh bulan. Gangguan demi gangguan mulai muncul, bukan hanya secara fisik tapi juga emosional dan spiritual. Ketegangan antara istri pertama dan kedua bukan hanya karena cemburu, melainkan juga pertarungan posisi dan pengaruh dalam rumah tangga.

Nuri, istri pertama, digambarkan menyimpan kekecewaan yang dalam. Ketika Anton semakin menjauh, rasa sakit yang ia alami berubah menjadi energi negatif yang tidak terungkap secara verbal. Inilah akar dari semua teror dalam film ini.

Santet dalam Budaya Sinema Indonesia

Dalam banyak film santet Indonesia, kekuatan gaib bukan hanya elemen horor, melainkan simbol dari emosi terdalam manusia. Di film ini, dugaan penggunaan pelet oleh Yuni menjadi pemicu konflik batin dan kecurigaan di antara para karakter. Mbok Ginem dan Bude Harni meyakini bahwa Yuni merebut Anton dengan bantuan kekuatan gaib.

Prasangka ini membentuk atmosfer mencekam yang berlapis. Tidak ada wujud makhluk gaib yang menakutkan secara eksplisit, tetapi ketegangan dibangun dari rasa saling mencurigai. Inilah kekuatan film ini—menggunakan simbol-simbol budaya lokal sebagai medium teror psikologis.

Praktik santet dalam film ini digambarkan melalui metafora sederhana: benda-benda mistis, ritual malam, mimpi buruk, dan perubahan perilaku karakter. Sayangnya, eksekusi teknis terhadap simbol-simbol ini kurang optimal, sehingga efeknya tidak terlalu membekas bagi penonton.

Ketegangan yang Terbangun Perlahan

Salah satu kekuatan Sosok Ketiga ada pada pengembangan konfliknya yang bertahap. Ketika Anton pergi ke luar kota, Yuni yang sudah kehilangan kendali meminta Nuri tinggal di rumah untuk menjaganya. Dua perempuan yang seharusnya tidak nyaman berada dalam satu rumah kini dipaksa berbagi ruang.

Interaksi keduanya penuh tekanan emosional. Tidak banyak dialog, tetapi ekspresi dan bahasa tubuh menyampaikan suasana tegang. Penonton akan merasakan suasana sunyi yang penuh amarah, rasa bersalah, dan kesedihan. Namun, sayangnya klimaks yang diharapkan tidak pernah benar-benar terjadi.

Kualitas Akting yang Mendorong Cerita

Celine Evangelista memainkan peran Yuni dengan intensitas emosi yang pas. Ia tidak berlebihan dalam menunjukkan ketakutan atau kesedihan. Karakternya mewakili perempuan yang merasa terasing meski berada di dalam rumah sendiri.

Erika Carlina tampil sebagai Nuri dengan pendekatan yang lebih tenang namun menyimpan luka. Ia menjadi simbol dari perempuan yang kehilangan tempat, tetapi tetap berdiri tegak. Chemistry keduanya sebenarnya cukup kuat untuk mendorong konflik batin yang lebih dalam, namun sayangnya naskah tidak memberi ruang eksplorasi lebih lanjut.

Kelemahan Teknis dalam Eksekusi Horor

Meski premisnya kuat, kelemahan film horor Indonesia kembali terlihat dalam Sosok Ketiga. Efek horor seperti jumpscare tidak dieksekusi dengan tepat. Beberapa adegan penting gagal menciptakan ketegangan karena transisi visual yang kasar dan kurangnya pendalaman atmosfer.

Make-up yang digunakan untuk menunjukkan kondisi gaib atau kerasukan pun terlihat tidak realistis. Tata suara yang seharusnya mendukung rasa takut malah terasa biasa. Hal ini membuat intensitas horor hanya bertahan sesaat dan tidak menyisakan dampak emosional bagi penonton.

Tema Emosional dan Representasi Perempuan

Film ini sebenarnya memiliki potensi besar untuk menjadi studi kasus tentang konflik rumah tangga di film. Ketika perempuan tidak diberi ruang menyampaikan rasa sakit, mereka menciptakan ruang baru—dalam mimpi buruk, dalam santet, atau dalam kesenyapan.

Sayangnya, sisi feminis dalam cerita ini tidak dikembangkan lebih jauh. Perempuan kembali dijadikan objek penderita tanpa eksplorasi yang dalam terhadap penyebab strukturalnya. Penonton dibiarkan bersimpati, tapi tidak diajak berpikir lebih jauh.

Apakah Film Ini Layak Tonton?

Sebagai film horor Indonesia terbaru 2023, Sosok Ketiga patut diapresiasi dari segi ide. Penggabungan tema santet dalam film Indonesia dan film poligami Indonesia adalah pendekatan berani yang jarang ditemui.

Namun secara keseluruhan, film ini tidak menyuguhkan horor yang benar-benar kuat. Penonton yang mencari ketegangan maksimal mungkin akan kecewa. Namun jika ditonton sebagai drama psikologis bertema mistik, film ini masih bisa dinikmati, terutama ketika rilis di platform digital.

Sosok Ketiga adalah film dengan gagasan kuat tapi pelaksanaan yang belum maksimal. Konflik batin perempuan, praktik santet, dan poligami dibingkai dalam satu narasi yang sebenarnya berpotensi mengguncang. Sayangnya, eksekusi teknis dan naratif membuat potensi itu tidak tercapai sepenuhnya.

Meski demikian, ulasan film Sosok Ketiga ini menunjukkan bahwa film lokal mulai berani menyentuh tema kompleks dan sensitif. Bagi penonton yang ingin menyelami makna sosial di balik teror, film ini bisa menjadi pilihan reflektif meskipun tidak memuaskan dari sisi horor konvensional.

Author Profile

About Irwin Andriyanto

Blogger Tangerang, SEO Spesialist, Digital Marketer, Penikmat Data, Tech Innovation Enthusiast. Sedang hobi membangun beberapa blog "Edo Tensei". Email : [email protected]

0 Komentar

Posting Komentar